Wednesday, May 7, 2014

Burung bukanlah burung, jika tak memiliki sayap. Karena itulah yang membuatnya dapat terbang. Demikian pun manusia belum menjadi manusia seutuhnya tanpa mimpi. Karena mimpilah yang mendorong manusia berpetualang dalam hidupnya.
~Florencia Selvy Allolinggi~

Sebagai seorang manusia, saya pun punya mimpi. Bagi saya mimpi itu seperti bahan bakar untuk kendaraan kehidupan dan untuk terus hidup saya harus memastikan saya tidak kehabisan bahan bakar, saya perlu terus bermimpi. Kali ini saya bercerita mengenai salah satu mimpi itu. Suatu impian tentang sekolah dambaan.
Saat ini saya adalah siswa kelas 12 salah satu SMA di Makassar. Hampir 12 tahun saya melalui hari-hari sebagai seorang pelajar yang menghabiskan waktu ± 7 jam per hari di sekolah. Waktu tersebut belum termasuk kegiatan ekstrakulikuler, rapat panitia, dan kegiatan sekolah lainnya. Meski tahun ini adalah tahun terakhir saya di SMA, saya tetap mendambakan sekolah idaman yang memiliki kriteria tertentu sesuai selera saya.
Pertama, guru-guru sekolah dambaanku tidak boleh menggunakan kekerasan. Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda, termasuk guru, ada yang berwatak lemah lembut dan ada yang tegas. Namun tegas bukan berarti keras. Tegas yang saya maksudkan adalah berani mengambil keputusan yang tepat, bersikap disiplin tanpa pandang bulu dan tidak nepotisme. Guru yang memukul muridnya, mencubit, menampar murid atau menghantam meja bukanlah guru yang tegas. Hal tersebut hanya memperlihatkan kekerasan terhadap anak. Maka wajar jika mahasiswa sekarang berdemonstrasi dengan anarkis, karena itulah yang mereka peroleh selama di bangku sekolah. Adapun akibat lain dari mendidik dengan keras adalah akan menimbulkan trauma, membuat anak ketakutan dan kehilangan rasa percaya diri.
Terlepas dari tipikal guru sekolah dambaanku yang idealis ataupun realistis, mereka haruslah open-minded. Mereka harus sadar bahwa perkembangan teknologi membuat akses informasi siswa semakin luas, jadi mereka bukanlah ‘orang yang paling tahu’ ataupun ‘orang yang paling benar’. Guru dambaan juga perlu menyadari bahwa bakat tiap siswa tidak sama, tapi mereka sama-sama punya bakat. Saya sangat mengharapkan guru mampu membantu setiap siswa mengembangkan bakatnya bukannya memaksakan suatu bakat dikembangkan pada seorang siswa. Seorang guru dambaan bukanlah guru yang suka memaksa dan tidak menghargai keputusan siswa, tapi guru yang menghargai keputusan dan prioritas yang telah dibuat oleh siswa dan memberi mereka ruang untuk berkarya dengan kemampuan yang mereka miliki masing-masing.
Kedua, fasilitas pembelajaran tidak harus mewah, tetapi harus lengkap. Ruang kelas tidak harus menggunakan 3 buah AC, yang penting suasana dalam kelas tetap sejuk dan nyaman untuk belajar. Setiap ruang kelas sebaiknya diisi oleh 20-30 siswa, agar proses belajar mengajar lebih efektif. Lingkungan sekolah perlu dijaga kebersihannya, alangkah indahnya jika koridor sekolah dihiasi oleh tanaman yang terawat dan sekolah memiliki pohon-pohon yang hijau dan rindang yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat diskusi dan kerja kelompok bagi siswa.
Ketiga, saya kurang suka dengan banyaknya tugas rumah seperti latihan soal dari buku paket yang diberikan oleh guru. Menurut saya, soal seperti ini semestinya dikerjakan di sekolah dan tugas rumah yang diberikan oleh guru sebaiknya dalam rupa project yang akan melatih aspek lain seperti kemampuan bekerja sama, kepemimpinan, dan keberanian siswa tampil di depan umum. Menulis esai juga salah satu bentuk pekerjaan rumah yang baik karena melatih siswa untuk berpikir logis dan berani berargumen. Tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif dalam diri siswa tetapi juga aspek lain seperti afektif dan psikomotor, sehingga pelajar Indonesia dapat tumbuh cerdas dan bermartabat.
Akhirnya, saya berharap pendidikan di Indonesia bukan sekedar menghafal materi tetapi juga mengembangkan wawasan berpikir siswa. Selain itu, sebagai pelajar saya berharap tingkat kelulusan tidak lagi ditentukan oleh Ujian Nasional. Seorang pelajar belajar untuk mencapai cita-cita dan mempersiapkan kehidupan di masa depan bukan untuk ujian nasional. Suatu hal mengecewakan jika usaha kami selama 3 tahun ditentukan oleh 3 hari dengan persiapan pelaksanaan yang kurang baik, seperti kekacauan yang terjadi pada penyelenggaraan UN 2012. Namun demikian, saya masih optimis dengan masa depan cerah bangsa ini. Mari bersama kita wujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik. Majulah pendidikan Indonesia. Merdeka!