Malam pertama (1 Januari 2013): Habibie dan Ainun.
Satu lagi film Indonesia yang memukau saya, Habibie dan Ainun, sebuah film yang diangkat dari buku bestseller yang bercerita mengenai kehidupan mantan Presiden RI, BJ Habibie dan istrinya, Hasri Ainun. Film ini bercerita tentang kisah cinta sejati, pasangan yang saling mendukung, setia, bagaimana keteguhan dalam menghadapi permasalahan hidup, dan menjadi pribadi yang bersih.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan alur film ini, hanya akan menuliskan apa yang saya pikirkan…
“Hai Ainun, kamu jelek, item. Kayak gula jawa.” kata Rudi (sapaan Habibie) kepada Ainun ketika mereka masih SMA.
Beberapa tahun kemudian, ketika mereka bertemu kembali, Rudi berkata dengan kagum, “gula jawa jadi gula pasir.” Ia begitu terpesona dengan Ainun yang bertumbuh menjadi wanita yang cantik, putih, dan mempesona. Tidak hanya itu, Ainun dewasa kini menjadi Ibu dokter yang berwawasan luas, dia menjadi jauh lebih pintar dan cerdas dibanding dari masa SMA dulu.
Ketika mereka berdua tinggal di Jerman, Ainun sempat merasa rindu dengan tanah airnya, ia juga merasa keberadaannya di Jerman hanya menambah beban Habibie. Namun Habibie menggenggam tangan Ainun dan meyakinkannya, katanya, “setiap terowongan memiliki ujung, ada cahaya. Saya janji akan membawamu ke cahaya itu. Saya janji.”
Gambaran Ainun sebagai istri ideal dalam film ini begitu sempurna. Dapat dilihat pada bagian dimana Habibie, sebagai Presiden begitu sibuk sekali dengan permasalahan bangsa. Pada masa itu seluruh nusantara meneriakkan reformasi. Ainun, ketika mendapati Habibie masih juga berkutak dengan laptop dan buku-bukunya di larut malam, menghampirinya, menyuruh Habibie beristirahat. Dia perihatin dengan suaminya yang selama menjabat menjadi presiden hanya tidur sejam sehari.
“Kamu itu orang paling keras kepala dan yang paling sulit yang aku kenal. Tapi kalau aku harus mengulang hidupku lagi, aku tetap memilih kamu.” –Ainun
Setelah tidak menjadi presiden lagi, di depan pesawat N250, pesawat pertama Indonesia yang dirangkainya, ia berkata, “Bangsa ini bisa jadi bangsa yang mandiri, tapi mereka tidak pernah percaya.”
Begitulah film ini terus berlanjut sampai menemukan akhirnya…
“Ada banyak cara mencintai negeri ini…dan kamu dapat salam dari Indonesia.”
-Pecinta Indonesia, L.